SENTUHAN LAIN SANG PENGUASA
RUBAH JALAN HUKUM TAPANULI UTARA
Tarutung, CAKRA
Jika kemudian orang luar bilang kalau Sumatera Utara banyak dihuni oleh Penguasa yang bertifikal parah telinga kita bisa saja merasa susah. Tapi, kalimat itu terkadang, atau bahkan sering lebih senang beranjak kearah ramah, benar terarah, dan tak punya bahasa bagus untuk membantah.
Setelah Mantan Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin, SE tertambat kasus korupsi dana APBD Kabupaten Langkat kalimat itu mengikat kian kuat. Ada banyak dorongan yang sangat memikat untuk menciptakan suasana yang sepakat. Sepakat dengan nyata bahwa banyak penguasa di tanah utara sumatera ini adalah aktor pembebat yang kurang peduli rakyat, sepakat dengan nyata kalau para pejabat yang ada ditanah utara sumatera ini lebih suka memberikan sempat kepada kerabat, main sikat, pakai jurus sesat, bangsat.
Dikenal pula sosok otoriter bernama Drs. Tuani Lumbantobing. Penguasa Tapanuli Tengah dua priode ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan rakyat yang kian melarat. Proyek yang jorjoran tak pernah mempertmbangkan nilai nilai kemanusiaan, maka yang muncul bukannya jalan mulus untuk kepentingan warga, tapi justru tindakan masif yang membuat rakyat sekarat. Penyerobotan tanah rakyat tidak lagi menjadi sebuah hal yang sulit disaksikan, utamanya Tapanuli Tengah bagian barat, nyaris tak ada area yang tidak menjadi korban penyerobotan dengan berbagai kedok dan alasan yang menyebalkan, dari pembangunan mega proyek yang tidak jelas makna akhirnya, hingga untuk kepentingan perusahaan yang pengusahanya entah dari rimba mana. Hanya saja Tapanuli Tengah mungkin sudah boleh lega, karena sang Diktator sudah longsor.
Tapi catatan kelam Sumatera Utara yang ditorehkan penguasa tingkat dua tak selesai begitu saja. Kini tampaknya beranjak dan atau bergeser sedikit merubah arah lokasi kuasa. Ya.. kini problematika yang memilki jurusan yang hampir sama kurikulumnya beranjak dan bergerak ke Tapanuli Utara “Rura Silindung”. Apa pasal ?.
Ini adalah sisa dari tarian tak seirama saat Pemilukada Tapanuli Utara tahun 2008 yang sudah berlalu. Tapi, ada kesan “Dendam Politik” yang menganga antara banyak warga dengan Sang Penguasa yang kemudian sah menjadi Jawara. Menjadi masalah yang lumayan menyedot rasa tanya, karena hal yang dilakoni oleh ribuan massa dipertanggung jawabkan oleh satu orang warga saja. Kok bisa ?.
Berawal dari Demo Pilkada 2008 lalu yang dilakukan oleh Puluhan Ribu Massa yang datang dari berbagai penjuru, dari hamparan kota, kecamatan, hingga setiap sudut Tapunuli Utara. Semuanya tumpah dalam satu masalah, Pemilukada Tapanuli Utara berjalan tak sempurna, banyak garis yang lurus pada aturannya tapi dibuat bengkok sebengkok bengkoknya oleh mereka yang menjadi regulasi Pemilukada. Dan diyakini semua konsep yang dibangun rapi hanya karena satu tujuan yang harus pasti, sang penguasa dapat bertahan dan dilantik menjadi peguasa kembali.
Sebenarnya semua berjalan normal normal saja, Tanggal 30 September 2009, sang aktivis divonis Bebas murni oleh Hakim Pengadilan. Keputusan itu diambil karena dalam kasus yang menimpa aktivis perempuan ini tidak jelas ujung pangkalnya. Tak jelas siapa yang mengadu, tidak jelas atau tidak ada yang dirugikan, dan pada lembaran kenyataan, yang dituntut aktivis Perempuan itu adalah perjuangan rakyat Tapanuli Utara secara universal.
Dan kenyataannya, tuntutan masyarakat yang diperjuangkan itu di menangkan di Mahmakah Konstitusi (MK) pada tanggal tanggal 16 Desember 2008 yang memutuskan ikut dalam tuntutan massa, dan terjadilan Pemilukada ulang di 14 (Empat Belas) kecamatan.
Seharusnya semua berjalan arif kalau yang menjalankan memakai sikap bijaksana. Tapi itulah dunia, entah kenapa satu aktivis yang ingin perubahan itu tiba tiba ditahan oleh Pihak yang berwajib, diperiksa kembali, hingga terus hukuman badan yang bertentangan dengan hasil sidang di Pengadilan Negeri (PN) Tarutung Tapanuli Utara.
Cerita harusnya bisa diberi lebel Tamat. Tapi tidak untuk yang satu ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak menerima hasil keputusan dengan baik, yang bersangkutan mengambil langkah sensasional dengan melakukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Cerita jadi panas lagi lantaran MA malah menyampaikan keputusan berbeda dengan keinginan banyak warga.
Sesuai dengan Keputusan yang diambil MA adalah sang aktivis diharuskan menjalani hukuman 6 (enam) bulan penjara sesuai dengan Keputusan MA No. 91 K/Pid/2010. begitulah kemudian aktivis perempuan merasa harus mengikuti Aturan yang berlaku, jadilah sang aktivis yang dituding atas kesalahan perbuatan yang tidak menyenangkan akhirnya menjadi penghuni Lapas.
Pertanyaan yang paling menarik banyak warga adalah, kenapa persoalan yang sejujurnya lumayan kecil beradaptasi menjadi besar, keputusan bebas murni PN Tarutung menjadi “Kerupuk Angin” yang banyak dijual dipasaran. Padahal menurut Undang Undang yang ada, Hukuman karena perbuatan tidak menyenangkan yang sudah diputus Pengadilan Negeri tidak layak di teruskan ke Mahkamah Agung (MA). Tapi nyatanya itu bisa diatur juga, terbukti itu terus berlanjut dan bahkan ada putusan hukuman badan langsung 6 (Enam) Bulan Penjara.
Jika bicara semestinya, maka yang seharusnya terjadi MA menguatkan Keputusan Pengadilan Negeri, bukan malah mementahkannya. Lantas, dimanakah wibawa Keputusan Pengadilan Negeri Tarutung yang mengetahui secara langsung, dimana peristiwa dan kejadiannya ada diwilayahnya sendiri ?. Lagi pula aktivis dimaksud adalah seorang Ibu, seorang pejuang, seorang yang berjuang demi kepentingan umum. Mengapa perjuangan untuk kepentingan umum dijawab dengan penjara ?.
Setelah itu, mengapa MA sangat tidak adil dan berat sebelah mengurusi Perkara Perbuatan tidak menyenangkan pada kasus Pemilukada ?. Hal itu jelas bukan urusan pribadi atau urusan biasa, lagi pula tidak menyenangkan siapa ?. sangat sangat tidak normatif sekali, urusan kedaulatan rakyat dan demokrasi ditimpakan menjadi kesalahan untuk perseorangan.
Sebagai catatan. Demo Pemilukada Tahun 2008 lalu dilakukan oleh Puluhan ribu orang, sehingga agak mengherankan mengapa hukuman ditimpakan kepada seorang diri, dan lagi pula pada kenyataannya bukti bukti yang terkumpul amat sangat lemah sekali. Sehingga perlu ditelusuri siapa tokoh tokoh dibalik rekayasa hukum yang bermuara pada penzoliman tersebut.
Masalah semakin rumit karena yang ingin memperjuangkan kesetaraan dan perlindungan hukum hanya datang dari aliansi masyarakat. Tidak ada suara yang datang dari gedung dewan yang harusnya berkeadilan dan menatap rakyat yang digilas kekuasan penguasa yang tak siap dikritik rakyatnya. Atau bisa saja para wakil rakyat yang duduk manis dikantornya termasuk kru pembuatan skenario, ada anggapan kalau mereka mereka itu ikut berbagi tugas, ada yang menjadi asisten sutradara, penulis skenario pembantu, tukang kamera, atau pemain utama pengganti. (MPS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar