Jalan KH Ahmad Dahlan No. 9 Sibolga 22536 E-mail : ski_cakra@yahoo.co.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Opini : MENGINGAT MATI (Untuk Para Syuhada Pahlawan Pergerakan Bangsa)

MENGINGAT MATI
(Untuk Para Syuhada Pahlawan Pergerakan Bangsa)

Catatan :
Syamsud Dahri Pulungan (Sekjend PP LSM CAKRA/Pemred SKI CAKRA)

Ini Tanah mereka ....
Mereka yang bersimbah darah.
Mereka yang pergi meninggalkan rumah.
Mereka yang dadanya ditembus peluru penjajah.

Ini Tanah mereka ....
Mereka yang tersenyum mati muda ....
Yang dimangsa waktu, tenaga, dan usia.
Untuk Kata .....
MERDEKA !.
Penggalan Puisi yang berawal dari rasa patah hati melihat gerak gerik para penguasa bangsa ini yang terus membangun lena dalam imbasan impi yang meraung membelah hati. Terkadang memang, niat tulus yang memangsa para syuhada Pahlawan Pergerakan Bangsa dimangsa pula oleh pola pikir apatisme dan semau gue yang ditahbiskan oleh para penguasa kini sebagai sikap pribadi yang tak punya rasa peduli, tak punya rasa simpati, tak punya rasa ingin berbagi. Tak punya nurani, tak punya naluri manusiawi, seakan bakal hidup seumur bumi.

Pahamilah. Bahwa negara ini tidak tumbuh seperti rumput dilapangan bola, tanpa perlu siraman perjuangan. Mengertilah bahwa Negara ini tidak lahir begitu saja, bukan kebun ciptaan alam semesta yang muncul begitu saja. Tapi, ini adalah buah dari tanaman yang bernama perlawanan perjuangan, tanaman itu tumbuh penuh dengan siraman. Siraman penumbuh yang mengalir dari tubuh para pahlawan. Entah sudah berapa tetes yang terambil oleh pergerakan perjuangan, melimpah sudah, tak terhitung walau dengan menggunakan mesin hitung secanggih manapun jua. Begitu juga saat ini, buah dari perjuangan ini bukan datang tanpa terlebih dahulu melalui deretan desah, Tanpa penjagaan, tanpa perawatan, tanpa perlu mendapatkan perhatian. Negara ini tumbuh dari sebuah akumulasi perjuangan yang tak dapat dinilai oleh siapapun. Akumulasi dari ratusan juta tetes darah yang menitik menyiram tiap jengkal tanah yang kini kita jadikan sebagai alat pencari nafkah. Kenapa begitu sulit memahaminya ?.

Tapi itulah hidup. Masih teramat langka menemukan manusia yang lebih takut pada Tuhannya ketimbang gesekan rupiah yang melintasi batang hidungnya. Masih teramat langka menemukan makhluk hidup berjenis manusia yang lebih mementingkan kearifannya sebagai bukti seorang abdi, ketimbang pemuasan isi kepala. Walau itu membelit kepala tetangga, walau itu memasung sanak keluarga, walau itu memeras tenaga warga. Keinginan untuk mendapatkan lebih masih lebih utama ketimbang memberikan lebih. Walau membagi sedikit lebih adalah ketentuan yang memang wajib dan harus dilakoni.

Tapi itulah hidup. Masih terlalu jauh jika masih juga berharap mendapatkan teladan dari seorang manusia yang terlanjur menikmati kuasa yang kadung ditangan. Terlalu sulit memahami mengapa penguasa dan atau calon penguasa begitu mudahnya menyampaikan janji janji indah, mengumbar kalimat kalimat menggugah, memeta jalinan harap yang pesonanya tiada terhingga, semuanya tampak mudah. Mengalir deras berbagi arah. Tapi berbanding terbalik dengan proses pelaksanaannya, berbanding 360° dengan kondisi saat pelaksanaan mulai terbuka. Pada akhirnya semua hanya berbentuk omong besar yang tak punya nilai sasar. Semua hanya janji manis yang berbentuk sadis, mengguris.

Intrik masih terus menjelma menjadi taktik, dan sering malah alergi dengan kritik. Sulit memang, teramat sangat sulit membekuknya, tak mudah meringkusnya, tak mudah menundukkannya, karena penggunanya tak lain adalah petugas yang biasa membekuk, pelaksana yang tiap waktu meringkus, terdiri dari SDM yang ahli membuat orang tunduk. Intinya, mustahil kalau ia membekuk dirinya, kurang masuk akal kalau kemudian ia meringkus dirinya, dan atau dia menundukkan dirinya, sulit kan ?. Pastinya, sebab karena itu tadi, terlalu bertumpuk masalah lalu yang harus dibalas jitu.

Jika pertanyaannya apakah tak terpikir oleh kita betapa “Hancur Leburnya” kehidupan para pejuang dulu, perjalanan menyakitkan dengan senang hati mereka lakukan, dengan bangga mereka praktikkan, dan tebusannya adalah kemerdekaan. Dan jutaan dari mereka justru tak pernah tahu bagaimana rasanya berdiri di tanah merdeka, mereka tak pernah nikmati bagaimana indahnya hidup saat ini semua benar benar sebuah negara, menjadi sebuah negeri yang diakui oleh seluruh isi bumi. Jawabannya entahlah. Sebab, tetap juga sulit menjelaskannya dengan sederhana. Jika dikatakan tidak ingat, buktinya masih ada Upacara Bendera, masih hapal Pancasila, Tahu Lagu Indonesia Raya. Jika dikatakan ingat, rasanya juga kurang tepat, sebab pada nyata yang ada, sebagian besar dari mereka tak tersentuh hatinya melihat anak bangsa tertatih ditanah mencari titik keadilan yang makin lama makin tak lumrah. Tak sedih isi otaknya melihat warga yang merintih menemui pedih yang menindih. Sialnya, mengakali anak bangsa masih terlihat biasa, memalu keadilan dan kemudian diarahkan untuk kepentingan kekerabatan bukan lagi sebuah masalah yang pantas dipersoalkan. Lantas apa ?.

Semua terasa makin tak terjelaskan. Menilap anggaran sudah masuk keranah kebiasaan, mark up bukan hal memalukan, bahkan sekelas pelayanan pun tak lagi membutuhkan keteladanan. Bahasa Abdi Negara sudah lebih banyak menikung kearah yang jauh dari makna sesungguhnya, abdi lebih banyak diartikan kepada Aku, bukan Hamba dalam bahasa seharusnya. Sehingga, makna Abdi Negara bukan lagi Hamba Negara, tapi lebih mengarah kepada, Akulah Negara. Karena terlalu banyak sudah yang tak pantas sekelas hamba, tapi lebih mengarah pada penguasa. Berbuat sesukanya, dan harus dihormati pula.

Jelas, dan sangat pasti sekali. Itu bukan hal yang diingini oleh para penyumbang nyawa untuk terbentuknya sebuah negara. Itu sama sekali bukan hal yang diharapkan oleh para syuhada yang dadanya ditempus timah panas penjajah. Mereka mati untuk sebuah harapan kesetaraan, mereka bersimbah darah untuk sebuah cita cita mulia yang sebenarnya semua orang tahu kalimat singkat dan panjangnya. Masalahnya bukan tahu atau tidak tahu, paham atau tidak paham, mengerti atau tidak mengerti. Tapi ini masalah Peduli atau tidak peduli, punya hati atau tidak punya hati, ikuti nurani atau tidak sama sekali, simpel.

Dulu, 66 Tahun yang lalu. Mengibarkan bendera Merah Putih adalah perwujudan impian dan harapan yang dibangun dengan tenaga dan pengorbanan yang dapat menutup kesempatan melanjutkan kehidupan. Tapi kini bagaimana ?, tak lebih dari sebuah kegiatan yang diwajibkan. Ada banyak yang menjamin, andaikan ada aturan yang membolehkan sebuah daerah tak harus melakukan upacara peringatan, maka akan ada banyak yang ramai ramai menjadikannya sebuah kesimpulan. Tak akan ikut dan membuat upacara kenegaraan, akan banyak yang mengatakan tak perlu ada peringatan.

Marilah kembali ke 66 tahun yang lalu. Saat itu tak ada gincu, sehingga tak ada waktu untuk bercermin menatap wajah yang dipolesi aneka kosmetik keluaran baru. Saat itu tak pasar, toko baju atau sepatu, maka mereka tak punya rok yang super mini, tak punya sepatu yang kilatnya kalahkan mentari. Yang ada hanya jalanan hutan dan berlumpur dalam, yang ada hanya tepas dan lubang perlindungan yang tak menyimpan bahan makanan yang cukup dan sepadan, yang ada hanya suara dentuman meriam dan desingan peluru penjajah yang dalam satu detik dapat membuat banyak anak kehilangan ayah, kehilangan paman, abang atau kakak, teman atau kerabat, dan lainnya. Saat itu tak ada kantin apalagi restoran, tak ada tempat jajanan yang menawarkan ragam makanan, tak ada waktu yang dapat diambil untuk duduk memandang lautan. Itu semua tak ada.

Tapi ketiadaan itu tidak membuat mereka resah, mereka justru marah dan mengejar penjajah kesemua arah, tak peduli darah sudah tercecer dihisap tanah, tak peduli anak dan istri makan apa dirumah. Yang ada hanya keinginan kuat untuk lepas dari keadaan yang kian parah. Merdeka, menjadi negara yang diakui dunia, menjadi bangsa yang diakui bangsa lain, berdaulat dan mengatur kehidupan sendiri.

Kenapa setelah ada gincu, banyak cermin, banyak waktu dan kesempatan, kemudian digunakan untuk kepentingan yang mengabaikan kepentingan kebanyakan. Kenapa begitu mudah menelantarkan tugas hanya untuk mengisi perut harus jauh dan memakan waktu yang berkepanjangan. Kenapa begitu mudah mematahkan aturan untuk keperluan kerabat dan handai tolan. Kenapa begitu mudah memutar aturan untuk menguntungkan kantong sendiri, dengan memeras kantong orang lain. Sulit untuk dipahami, sulit untuk dimengerti, sulit untuk diterima hati, tapi itulah yang sesungguhnya terjadi.

Setidaknya. Hari ini mari sama ingatkan diri. Hidup bukanlah sesuatu yang nilainya abadi. Hidup bukanlah sesuatu yang waktunya selama umur bumi. Dalam waktu yang tak dapat dipahami, dalam kurun masa yang tak dapat diukur pasti, akan datang sesuatu yang tak seorangpun mampu menghindari, MATI.

Cobalah pahami, cobalah berikan waktu untuk sekedar mengingatkan diri. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang mampu memberikan bahagia abadi, perbuatan yang tak sesuai tidak akan membawa siapapun kealam yang lebih baik di manapun masa itu sedang berlaku kini. Ingat lah, bahwa MATI pasti kan terjadi.

Ini Bukan Tanah Kita .....
Yang terlahir dengan sambutan seisi keluarga
Yang terlahir dengan senyuman ayah dan bunda
Yang terlahir dengan persediaan pakaian yang serba ada
Bukan Tanah kita ...

Ini Tanah Mereka ....
Kembalikan pada Cita Tulus yang mereka punya...
Kembalikan pada Niat Suci yang Mereka ingin dari kita ...
Demi Darah mereka ....
Demi Usia mereka .....
Demi Nyawa mereka ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar