MAKAN ANGIN
Oleh : Maruli P Simanjuntak (Ketua Harian PP LSM CAKRA)
Mencari titik dasar dari luapan keadilan dan keberpihakan ternyata sangat sulit dilakukan, segala bentuk mekanisme yang disusun oleh lembaga lembaga pemerintah ditingkat pusat terkadang “nyeleneh” dan dibongkar habis oleh mereka yang dipusat juga. Ada banyak teori yang dibangun untuk menciptakan kesetaraan, sebegitu banyak pula etika yang terlanggar dengan berbagai bentuk alasan. Seratus aturan yang diciptakan untuk menguatkan kebersamaan, seratus satu soalan yang dibangun untuk melakukan pengkerdilan upaya bersama. Terlalu banyak orang pintar, tapi tak seimbang dengan jumlah orang benar.
Daerah sebagai area yang dipandang jauh lebih arif dan adil karena rakyat tingkat rendah sering bertemu langsung dengan penguasa regulasi ternyata tidak juga. Malah sering, yang di area bawah (daerah) justru yang paling “bugil” dalam mencetak gambar keadilan.
Lihat saja prilaku mereka mereka yang “mengaku” sudah jadi bagian dari penguasanya Tapanuli Tengah. Dengan terkonsep dan tertata rapi, mereka menyambangi pihak pihak yang berada dalam jangkauan kuasa sang penguasa dengan tawaran mendapat kuasa, kembali berkuasa, mempertahankan kuasa, atau mendapat kuasa baru. Inilah gambaran ril yang terjadi sekarang ini, yang merasa “pembentuk” penguasa kadang lebih berkuasa dari penguasa itu sendiri. Berlebihan dan tidak berkesan santun.
Mencari titik dasar dari titik kehidupan bersama bernama demokrasi memang bukan sebuah hal yang mudah didapatkan. Terlalu banyak yang ngambang dan terapung dalam lautan kebijakan yang terekam telinga kebanyakan. Pandangan indah yang bernama rasa adil lebih sering mengolah dirinya menjadi bunglon yang siap merubah warna sesuai keadaan. Bukan satu hal yang lucu, bila hari ini ada kumandang perlawanan terhadap sistem yang diklaim kejam, besok bisa membuka koridor untuk membangun kesepakatan, dan lusanya sudah mengembang bunga bunga kebersamaan. Kehidupan politik yang kusut berbuntut terlalu dalam sudah masuk pada tatanan hidup bermasyarakat yang mestinya tidak carut marut.
Budaya dengan segala kelembutannya juga berperangai sama dengan pola pikir tuannya yang lebih mementingkan kesempatan bernada keuntungan semata. Tokoh budaya, pemangku adat juga sudah sering memasang tabiat, rela diikat oleh kehidupan politik yang pada ujungnya kadang berbuah kelat. Dan dimuaranya, rakyat yang banyak inilah yang menjadi korban sesaat, ya kalau nikmat berurat. Sakitnya kadang tak seberapa berat, tapi malunya mengundang kualat, dan sering pula menikahi laknat.
Sejujurnya. Tidak begitu sulit membentangkan keadilan ditanah merdeka yang namanya Indonesia ini, tapi jadi begitu tak dapat ditata dengan baik dan sempurna, karena manusia yang menjalankan rodanya sudah kehilangan banyak potensi budaya. Penuturan kadang juga tak lagi bermakna, kebiasaan yang dilakoni orang tua dulu dipandang sebagai sebuah prilaku yang tak patut ditiru. Paling tidak dapat dilihat dengan ulah Ibu Ibu baru yang enggan memberikan susu, digantilah dengan vitamin hasil produksi lembu, wajar kalau kemudian sang anak lebih patuh kepada yang memproduksi susu untuknya, ketimbang pada orang yang ia panggil ayah atau ibu.
Politik membawa “puting beliung” nafsu pada banyak orang yang mengklaim kalau ia punya andil dan berhasil sebagai penentu. Ini jadi budaya baru yang datang menyerang bagai hantu malam sabtu, menusuk dan mengikat semua rongga yang ada dijajaran kalbu, dan menjadi penguasa sejati dalam kehidupan yang mengharu biru.
Pada akhirnya, masyarakat marginal tetaplah berada dalam kungkungan marginalisasi yang mumpuni dan tak berkesudahan, masyarakat tetap saja berada dalam kungkungan yang tak dapat dielakkan sama sekali, hanya mampu menikmati bualan dan impian yang tak jelas bak angin yang melintas. Kesadaran akan betapa indahnya demokrasi sudah beranjak dari kata pupus menuju ranah yang lebih rakus, MAMPUS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar