Seputar Aktivis Dilaporkan Warga
“Hilangnya Nilai Perjuangan”
Edianto Simatupang : Itu Fitnah
Sibolga, Cakra
Terkait perjuangan menuntut hak atas tanah di kawasan PLTU Labuan Angin, warga Mungkur, Tapian Nauli II melaporkan koordinator FPTR, aktivis Pergerakan Indonesia, atas dugaan penggelapan dana bantuan dari rekanan. Aktivis pembela rakyat berinisial ES dianggap sebagai bentuk pembunuhan karakter. ES menyesalkan perjuangan yang selama ini dilakukannya melalui Forum Pembela Tanah Rakyat (FPTR) demi membela hak warga malah berbuah fitnah dan tuduhan sepihak.
“Saya sangat sesalkan sikap warga itu. Padahal, sejak awal melakukan pemblokiran, melalui musyawarah warga telah memilih ML (Mantan Kepala Desa Tapian Nauli) sebagai bendahara forum. Itu saya lakukan untuk mendidik warga mengerti akan tanggungjawab di dalam organisasi,” tukas ES kepada awak Cakra di Sibolga, Sabtu (2/8).
Dia menjelaskan, sebelum rapat besar bersama seluruh warga, ES selaku koordinator tetap melaporkan pemakaian keuangan, yang diketahui oleh koordinator lapangan, baik itu pemasukan dan pengeluaran uang. Termasuk sumbangan maupun kompensasi dari rekanan sebagai kesepakatan kerja sama dengan warga. “Sebagai penanggung jawab dan koordinator utama dalam forum, saya harus bertanggung-jawab melaporkan pemakaian uang dalam tiap kegiatan selama perjuangan. Seperti misalnya melakukan aksi-aksi di Medan, membawa warga sampai ke Jakarta, mengurus ini-itu ke sana-sini, operasional kawan-kawan LBH selama pendampingan hukum saat insiden pembakaran truk pada 30 November 2010, dan lainnya,” terang ES.
Terbukti, lanjut ES, setelah hampir 2 minggu di Jakarta, pada tanggal 4 Januari 2011 malam, saya ada memerintahkan untuk digelar rapat besar seluruh warga untuk melaporkan semua kegiatan, perkembangan perjuangan dan strategi gerakan perjuangan untuk membebaskan 7 warga yang menjadi tersangka dalam insiden pembakaran truk. Namun apa yang terjadi, sesal ES, semua warga malah balik mencurigainya. Warga juga menuduhnya tidak bertanggung-jawab atas terjadinya insiden itu.
Bahkan warga yang menfitnah dan mencaci maki ES tidak bisa hadir dalam rapat besar itu. “Setelah rapat besar itu selesai atau sekitar pukul 23.00 WIB, warga yang menuduh hadir, langsung ‘menyerang’ saya dan menuduh saya. Mereka bilang, kamu yang memenjarakan anak saya, kamu tidak bertanggung-jawab, enak-enakan di Jakarta,” tandas ES, menirukan tudingan warga kala itu.
ES sendiri kala itu mengaku sempat terdiam dan berupaya memberi penjelasan. “Bahkan saya menangis karena saya tidak menyangka semua tuduhan warga itu,” ujarnya.
Saat itu, masih ES, ada sebagian warga yang mendukungnya balik emosi. Mereka tidak terima ES diperlakukan seperti itu. “Untuk menghindari konflik sesama warga. Akhirnya saya memutuskan meninggalkan Labuan Angin, namun tetap masih bertanggung-jawab atas pemblokiran jalan itu hingga sekarang,” tukas ES.
ES meninggalkan Labuan Angin tepatnya pada 5 Januari 2011. Sementara kata ES, tuduhan dan fitnah kian gencar dialamatkan padanya. “Saya sedih. Warga tidak melihat perjuangan kita, bagaimana tanah mereka bisa diakui secara hukum melalui gelar perkara di Mapoldasu (22 November 2010), bahkan sampai membawa persoalan tersebut ke tingkat nasional. Warga juga bisa merayakan HUT RI dengan semarak, warga juga mendapat kompensasi sebesar Rp. 275 juta yang sudah dibagikan,” ungkapnya.
Malah, kata ES forum tidak pernah memungut biaya untuk perjuangan tersebut. “Mereka tidak melihat penderitaan saya. Saya jauh dari keluarga, pengorbanan saya sampai rumah saya dibakar, ditikam saat melakukan aksi. Saya coba diculik, orangtua saya dimutasi dan turun jabatan. Bagaimana mungkin saya berniat menjual perjuangan, padahal pemblokiran masih berlangsung saat itu,” keluh ES.
Namun demikian ES mengakui bisa saja ada kesilapan, lupa tidak melaporkan keuangan. Seperti dana bantuan ke rumah ibadah. Tapi, kata ES, penerimaan bantuan itu sepengetahuan koordinator lapangan Sawaluddin Simanjuntak.
Hanya saja waktu itu, ES mengaku belum sempat menyerahkannya kepada bendahara. Karena sifatnya mendadak, dana tersebut dipakaianya untuk operasional rekan-rekan dari LBH selama seminggu dan juga kepada sejumlah rekan-rekan media. “Soal dana yang Rp. 40 juta dari rekanan, saya tidak pernah menerimanya. Pertanyaannya sejak kapan rekanan itu berhak memberi ganti rugi lahan warga ?. Lalu, apakah warga pantas mengadukan saya oleh karena kesilapan dan kekurangan saya itu ?. Apa mereka juga membiayai saya, apa mereka merasakan penderitaan saya, pernakah saya menutut atas pengorbanan dan perjuangan ini ?. Semua pertanyaan itu untuk menyadarkan kita bahwa kehadiran saya di sana adalah panggilan jiwa untuk kemanusiaan,” pungkas ES.
Sebelumnya, ES mengatakan bahwa ia melaporkan bendahara forum ML ke Polres Tapteng, sebelum warga lainnya mengadukannya. Itu dilakukannya atas permintaan warga juga. Hal itu dilakukan agar ML membuat laporan keuangan. (c. 111)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar