PENYALURAN DANA BOS DAN PEMERATAAN PENDIDIKAN
(Dari Yang Kusut hingga Harapan Torehan Cita Cita Bangsa)
Catatan :
Mutiara S Hutagalung (Pimp. Perusahaan SKI CAKRA)
Paling tidak, kita tahu kalau dalam kurun waktu belum lama ini, Ombudsman RI telah melakukan monitoring terhadap penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) 2011 di beberapa daerah. Hasilnya, Ombudsman RI menemukan beberapa permasalahan mendasar yang memicu terlambatnya penyaluran dana BOS ke sekolah.
Pertama, telatnya penyaluran dana BOS ke sekolah karena birokrasi pencairannya terlalu rumit. Sebelum ditransfer ke rekening sekolah, dana BOS harus melalui kas daerah terlebih dahulu. Hal itu menyebabkan proses pencairannya semakin lama dan melalui proses panjang.
Kedua, kurangnya koordinasi dan sosialisasi dalam perubahan mekanisme penyaluran tersebut. Dalam hal ini, komite sekolah kurang dilibatkan untuk berpartisipasi membantu penyaluran dana BOS tersebut. Selain itu, waktu sosialisasi mekanisme penyaluran sangat berdekatan dengan waktu pelaksanaannya. Hal ini terbukti dari Surat Edaran Bersama (SEB) antara Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) yang baru diterbitkan pada 28 Desember 2011, sedangkan triwulan pertama penyaluran dana BOS sudah dimulai sejak Januari 2011.
Masalah ketiga adalah prosedur administrasi yang begitu rumit. Berdasarkan draft laporan Ombudsman tentang penyaluran dana BOS 2011 diketahui, bahwa sekolah mengalami kesulitan dalam melengkapi syarat administrasinya. Sekolah penerima harus menyiapkan rencana kegiatan anggaran (RKA), daftar penggunaan dan syarat-syarat lainnya yang memerlukan banyak data dan memakan waktu cukup lama, sehingga penyaluran dana BOS ke sekolah menjadi sangat terlambat. Khususnya pada triwulan pertama (Januari-Maret).
Sejujurnya, keterlambatan dana BOS bukanlah masalah yang paling pelik dalam dunia pendidikan milik kita. Kusutnya lalu lintas dana BOS hingga sampai ketangan sekolah bukan juga merupakan hal yang paling memekakkan telinga kita. Ternyata, masih ada problem lain yang kusutnya jauh lebih kusut dari jeruk purut. Berkelok dan berbelok jauh kedepan dan terkadang berkesan kurangnya keinginan untuk membuka lebar tabir informasi hal dana BOS yang sampai ketangan sekolah.
Taruhlah kalau yang berstatus swasta. Apalagi yang Yayasan Pengelolanya lebih banyak tidur daripada terjaga, hingga Kepala Sekolah terkadang berubah menjadi pencari dana, tida lagi sekedar penerima dana. Sehingga, dana BOS kemudian lebih banyak mengarah kepada pendidik daripada yang dididik adalah hal yang amat sangat lumrah sekali, sebab tak ada kucuran dana segar yang lebih bugar dari dana BOS.
Tapi, kalau untuk sekolah yang berstatus negeri melakukan hal yang sama ?, tentu itu akan jadi hal yang kurang nyaman juga, masih banyak aliran segar yang umumnya bugar dari sekedar dana BOS yang masuk ke kas sekolah, semisal DIPA. Atau paling tidak, operasional sekolah itu tertampung apik di APBD dan atau APBD-P di tingkat Kabupaten/Kota. Akhirnya, jika kemudian muncul tudingan adanya penggunaan salah sasaran bukanlah hal yang boleh dipandang lumrah. Bukti riil yang ada dilapangan sudah jelas, bahkan untuk mengumumkan arah pengeluaran pun para pengelola sekolah itu enggan.
Memang, keengganan itu masih menyimpan tanda tanya besar, apakah mereka enggan karena mereka tidak paham dan tak punya kemampuan menyusun atau karena mereka secara tegas teranga benderang melakukan penyimpangan. Istilah, ngapain takut kalau memang tak melakukan kesalahan. Jika memang para Kepala Sekolah itu menjalankan semua ketentuan dengan sebaik baiknya, sejujur jujurnya, mengganggarkan sesuai dengan peruntukan yang selazimnya, apa yang membuat mereka takut mengumumkannya.
Tapi sudahlah, biarkan mereka dengan segala ulah yang mereka punya. Biarkan mereka gembira dengan apa yang sudah mereka nikmati semau mereka. Yang jelas, kita patut bersyukur jika pendidikan dasar sembilan tahun dapat diakses gratis seluruh masyarakat. Pemerataan pendidikan menjadi salah satu cita-cita bangsa. Berbagai undang-undang disahkan dan dana dialokasikan untuk cita-cita itu. Namun, berbagai pernyataan jaminan negara atas pendidikan itu tak lebih retorika. Menguatnya komitmen pemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum diimbangi langkah nyata meningkatkan pemerataan akses dan mutu yang bebas dari tekanan dan basa-basi politik.
Tapi, jelas sekali dalam praktek nyata, perwujudan pemerataan pendidikan tak hanya sekedar memerlukan undang-undang dan dana. Tapi juga perlu hal hal lain yang lebih dari sekedar aturan yang pada ujungnya kadang berubah manis menjadi sekilas life servis. Jadi, Apa permasalahan pemerataan pendidikan kita sekarang ?
Hambatan yang paling utama soal upaya pemerataan pendidikan itu justru ada pada konsep ”gratis” yang dikumandangkan banyak orang dan pemerintah sebagai sponsor utamanya. Pembombardiran info soal sekolah gratis “menggoreng” kemandirian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, ya kalau gorengannya manis, persoalan yang muncul justru berbanding terbalik, penggorengannya terlalu lama dan akhirnya jadi hangus. Slogan dan iklan pendidikan gratis melambungkan harapan rakyat tentang jaminan negara. Penebaran info yang terasa begitu lebihnya membawa fakta baru ditengah tengah masyarakat kita, masyarakat merasa bahwa kesemua yang berhubungan dengan pendidikan dan dunia yang ikut dengannya sudah tercover dalam anggaran pemerintah. Faktanya ?, Ironis. Jelas sekali hingga sekarang kini, jauh setelah kemerdekaan, negara jelas jelas belum pernah mampu (dan bersedia) menanggung cuma-cuma seluruh biaya pendidikan rakyat. Itu faktanya.
Inti masalahnya bukan hanya sejauh mana pendidikan benar-benar bisa ”gratis” dan atau bagaimana mengatasi ragamnya masalah yang muncul dalam penyaluran dana bantuan operasional, akan tetapi secara nyata kita harus menerima bahwa, konsep pendidikan gratis telah mencuri prinsip kemandirian warga sebagai bagian terpenting dari inti kemerdekaan politik dan mengalihkannya kepada ”niat baik” para pemegang amanat rakyat. Dimana, saat warga terbuai mimpi pendidikan tanpa biaya, ternyata wujudnya justru kian jauh dari jangkauan kekuatan mereka. Harapan yang telanjur digantungkan pada elite negara yang selalu menegaskan jaminan perundang-undangan atas pendidikan rakyat terburai tak bermuara, sebab para elite negara murni adalah politikus yang bertindak berdasar naluri kepentingan semata, nyaris tak ada keberpihakan substansi. Dengan kata lain, meski pemerataan pendidikan adalah kebijakan negara, implementasinya amat tergantung kebijaksanaan penguasa berdasar kepentingan politik mereka. Dalam konteks itu, konsep ”gratis” telah memasung dan mematikan inisiatif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sejak dulu, dari dulunya dulu, sebelum negara ini ada.
Bagaimana dengan Pemerintah Daerah ?. Banyak yang teganjal sial, pemerataan pendidikan terhambat kesadaran rendah para pemimpin daerah. Otonomi melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah. UU BHP, misalnya, memberi kewenangan pemerintah daerah mengatur penyelenggaraan SD, SMP, dan SLTA (Pasal 21). Konsekeunsinya, tanggung jawab pembiayaan yang besar juga harus dipikul pemerintah daerah.
Dalam konteks SD-SMP seperti diatur Pasal 41, masih harus ditegaskan berapa yang harus ditanggung pemerintah pusat (60 persen) dan 40 persen pemerintah daerah. Yang jelas, pemerintah daerah juga diwajibkan menanggung minimal 1/3 biaya operasional SLTA.
Tapi, kembali yang ditemukan tetap saja sial, karena itu semua adalah ketentuan di atas kertas. Prakteknya, pewujudan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan pendidikan amat tergantung komitmen dan niat pemimpin setempat. Realitanya, boro boro ingin memberi lebih kepada dunia pendidikan, yang berkembang justru sebaliknya, untuk menjadi pemimpin di sekolah para calon harus lebih dulu membangun komitmen, dan komitmen itu tak akan jadi sebuah hal yang penting dipandang mata jika tanpa lampiran dana sesuai selera sang pemenang Pilkada.
Sakitnya lagi, Otonomi pembiayaan pendidikan juga berpotensi menyesatkan publik. Janji pendidikan gratis dalam kampanye para calon kepala daerah dan caleg, adalah contoh politisasi vulgar yang berakibat tragis. Omong besar semacam itu menjadi komsumsi publik yang sering menadi jargon politik yang sambung menyambung. Sayangnya, sambungan itu begitu pendek, karena hanya sekedar tulisan dari satu kertas ke kertas berikutnya, tanpa realisasi.
Dan jikapun yang kampanye itu berhasil duduk sebagai pemenang pilkada, pemberian nilai lebih kepada pendidikan justru berubah menjadi praktik pelunasan utang politik, bukan merupakan kesungguhan yang harus dan wajib dilakukan. Semestinya, pemberian nilai lebih kepada pendidikan tak mesti masuk dalam skenario kampanye dan atau janji politik, sebab pendidikan harus menjadi bagian penting dari kehidupan bangsa dan negara. Keseriuasan terhadap dunia pendidikan harus berlaku umu, tak penting siapa Bupati atau Walikotanya, tak perlu siapa yang terpilih menjadi dewan atau lainnya.
BERAGAM OPINI DAN ETIKA PUBLIK
OLEH : DJAKFAR SIDDIK LUBIS
Saat ini , badai politik mengharu biru kan suasana di tanah air , masyarakat disuguhi berbagai akrobatik penjungkir balikan fakta dan hukum , para anggota dewan , pakar hukum ,politisi bahkan para insan pers turut mewarnai gejolak yang timbul dalam dekade ini , apakah Bangsa ini sedang mengalami defisit dalam soal public ethies .
Beragam pandangan , pendapat mengenai Hukum , kritik Sosial dan kebijakan Pemerintah yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat, separuh dari kebijakan ini bertolak belakang dengan pelaksanaan kinerja Aparatur Negara, di Republik ini. Dinegeri ini ketika kekalutan politik menutup akal sehat, ketika Hukum menjadi pasar gelap Keadilan, kita mendengar dan menyaksikan beberapa sosok yang begitu kokoh memegang kejujuran, Etika dan Integritas, memiliki segudang prestasi dalam pelaksanaan kinerjanya yang sehat dan beriman, justru di hakimi dengan berbagai dalih dan hukum yang tidak dapat di terima akal bahkan oleh Hukum itu sendiri, Ironis .
Keadilan yang begitu didambakan oleh masyarakat banyak hanyalah bayangan pata morgana, yang tak pernah terwujud entah sampai kapanpun, karena sehari hari kita hanya mendengar, melihat dan membaca soal Mafia Hukum dan Pajak, soal ketidakadilan yang menimpa rakyat kecil, soal bagai mana hukum yang dimainkan oleh mereka yang berkuasa dan beruang, betapa sulit nya rakyat kecil untuk mendapat kepastian dan keadilan hukum. Aparat penegak hukum sangat mudah di suap sementara yang bersih di ancam bahkan bisa lenyap dari Republik ini, sementara yang korup sering terlindungi bahkan tak terjangkau oleh Dewi keadilan.
Benarkah Bangsa ini, Bangsa yang gagal ? setidak nya itulah gambaran yang terlukis saat ini, bagai sebuah kapal yang rapuh, di jejali oleh muatan yang melebihi kafasitasnya, muatan yang beragam yang menyesaki sang kapal rapuh sedang berlayar di samudra yang ganas...! apakah sang Nakhoda mampu menyelamatkan kapal nya yang dijejali muatan yang melebihi kapasitasnya, sedangkan para anak buah kapal banyak yang tidak mengerti intruksi atau perintah dari sang Nakhoda, bahkan banyak yang sudah mabuk di landa terjangan ombak yang menerpa dahsyat, sedangkan pulau tujuan masih jauh dari jangkauan.
66 (Enam puluh enam ) tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan pada tanggal 17 agustus 1945 oleh sang Dwi tunggal Sukarno – Hatta, ribuan nyawa telah melayang, darah dan air mata telah tertumpah mengenangi Nusantara tercinta, Indonesia ku, Indonesia mu, atau Indonesia mereka, para pencoleng uang Negara dan uang rakyat, para pedagang keadilan yang memperjual belikan perkara dalam pengadilan hitam, masih kah mereka mempunyai E t I k a dan kehormatan ? atau Etika Publik ! (pandangan masyarakat) yang menjadi kebenaran di tanah air ini.
66 (Enam puluh enam) tahun bukanlah waktu yang singkat, apakah para pemimpin di Republik ini telah mampu mewujudkan cita cita Proklamasi 1945 ? jawabnya jelas tidak ! kenapa ? karena banyak pemimpin di negeri ini yang menganut “konflik kepentingan” yang begitu kental dan tanpa etika. Etika itu barang yang jarang di sebut, lalu ketika ada yang berusaha untuk menegakkan kebenaran dan keadilan mahluk itu di sebut manusia aneh, Na Uju Billahi Bin Zhalik.
Di sini penulis bukan bermaksud mendramatisir permasalahan konflik yang terjadi di Tanah air Ini, tapi penulis hanya menyampaikan E t I k a publik yang saat ini menggelinding bagai bola salju yang siap melanda dan melindas para mereka yang tidak konsisten dalam menjawab pengejatawahan proses demokrasi dan keadilan di Negri ter cinta ini.
Seumpama kesejahtraan dan keadilan adalah sebuah taman bunga yang bisa dirusak dan dihancur binasakan, namun percayalah musim bunga (keadilan) tak akan pernah berakhir, satu taman bunga bisa diremuk redamkan, namun seribu taman bunga (taman keadilan) akan tumbuh semerbak seiring jalannya waktu “Etika publik “ bukan retorika, namun iyanya adalah lintasaan sejarah yang akan terus berulang sepanjang waktu.
Sepanjang kezaliman memasung negri ini seribu melati akan tumbuh bagai pelangi memayungi negri ini , Bangkitlah Indonesiaku, Bangkitlah Bangsaku, mari mengawal Nusantara dalam era keterbukaan dan tranparansi, yakin lah jangan apatis, karena kita Bangsa yang besar dan ber martabat.
Hakku, Hakmu, Hak kita semua ! Hak Anak Bangsa, Tanahku, Tanahmu, Tanah kita semua ! Air ku, Air mu, Air kita semua ! namun Zalimnya bukan Zalim kita. Nazarudin sang kantong uang berdendang ria, nada dan syairnya menguncang jiwa, namun semua ini akan sirna, seperti kasus BLBI dll yang tak pernah usai, bagai sebuah Sinetron, yang Tuhan nya adalah skenario yang di atur sang Sutradara.
Arti Dan Makna Lambang Daerah Kabupaten Nias Selatan
Oleh : Sadari Halawa, Wartawan SKI Cakra Kab. Nisel
Setiap Kabupaten atau Daerah memilki Lambang sebagai simbol yang sangat berharga dan tanda –tanda Daerah itu sesuai Kultur Budaya serta Adat-Istiadat Daerah Masing-Masing. Tak ketinggalan juga Kabupaten NIas Selatan yang sudah 8 Tahun di mekarkan tepatnya Tanggal 28-Juli Tahun 2003 bersamaan dengan Kabupaten Pakpak Barat dan Humbang Hasundutan juga memilki Lambang Daerah di mana mempunyai arti dan makna tersendiri dalam kehidupan bernegara.
Lambang Daerah Nias Selatan itu di tetapkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Nisel Nomor 02 Tahun 2006. Arti dan makna Lambang Daerah Nias Selatan itu akan di uraikan oleh penulis sebagai berikut : Pertama, KALABUBU adalah, kalung yang biasa di pakai laki-laki pada upacara Adat. Lambang itu juga merupakan lambang kemenangan, keheroikan dan kesatria. KALABUBU juga merupakan simbol Mikro Kosmos, kebulatan tekad dalam mempersatukan serta mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, tulisan Nias selatan yang berada di lingkaran KALABUBU, mengartikan sebagai identitas sebagai Daerah otonom yang berada dalam rangka Negara Kesatuan republic Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Setelah itu, pada lambang Daerah Nisel itu, ada HOMBO BATU (Susunan Batu) berjumlah 28. Itu melambangkan tentang tanggal pengesahan Kabupaten Nisel sebagai Daerah otonom baru di Daerah Propinsi sumatera Utara. Sementara, arti Tingkatan batu (HOMBO BATU) yang jumlahnya Tujuh, itu melambangkan sebagai Bulan Juli saat Pengesahan Kabupaten Nias Selatan. Selain itu, ada juga segitiga berantai di atas SIKHÖLI NI’OWÖLI- WÖLI berjumlah Dua Puluh dan terdapat juga bulatan NOL (O) dalam segitiga itu dengan Kerucut sebanyak Tiga Buah yang melambangkan sebagai Tahun Pengesahan Kabupaten Nias selatan pada Tahun 2003.
Berikutnya adalah, KAPAS yang berjumlah Tujuh Belas yang kaitannya berbentuk Rantai di bawah SIKHÖLI NI’OWÖLI- WÖLI berjumlah Delapan dan PADI berjumlah Empat Puluh Lima, melambangkan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (17-8-1945). Sedangkan Lambang tentang Orang yang sedang Melompat Batu merupakan sebagai Ketangkasan, Ketangguhan dan Patriotisme. Lambang Pelompat Batu itu juga merupakan simbol Masyarakat Nias Selatan yang sedang berjuang untuk membuat lompat-lompatan dalam mengejar ketertinggalan sehingga mampu mensejajarkan Diri dengan Daerah Lainnya. SIKHÖLI NI’OWÖLI-WÖLI Dalam struktur bangunan Tradisional Nias selatan berfungsi sebagai dasar bangunan. Sedangkan NI’OWÖLI-WÖLI mempunyai Makna atau arti yakni Keindahan. Tulisan FURAI di gali dari Falsafah Budaya Nias Selatan dan juga merupakan Motto abadi Nias Selatan. FURAI juga, memilki arti dalam bahasa Nias yaitu, ROROGÖ, HOFI, AMONI’Ö, FAJAWA, TUWUNI dan AMÖLISI. Artinya dalam Bahasa Indonesia yakni, ajakan untuk Menjaga, Memelihara dan Menjunjung Tinggi Nilai dan Martabat. Dan terakhir adalah, Bagian Luar Segi lima melambangkan PANCASILA ( Lima Dasar). Demikian arti dan Makna Lambang Daerah Nias selatan yang di paparkan oleh Penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar