Pendidikan Salah Sambung
Oleh : Maruli P Simanjuntak (Koorlip SKI CAKRA)
Marilah buka bukaan, blak-blakan, jujur dan obyektif dalam menelaah dan atau mengangkat fenomena dunia pendidikan di tanah tumpah darah kita yang hanya satu ini. Kelihatan jelas dari tahun yang satu hingga nyambung ke tahun berikutnya terus saja dihiasi warna warni yang menggauli info miring or bengkok, mulai dari issu biaya yang mahal nyaris tak terjangkau, masalah UN yang mirip sinetron antara cinta dan dusta, proses penerimaan mahasiswa di PTN yang berbau joki, hingga kualitas lulusan yang sangat jauh dari harapan, bak pungguk rindukan bulan, memprihatinkan.
Sibolga Tapanuli Tengah memang betul betul masih Indonesia. Kondisi gumarapus juga menjadi hal biasa yang kadang dipandang begitu sederhana bagi yang mestinya menganggapnya masalah yang tak boleh berjalan tanpa kawalan yang wajib mampu memberikan perlawanan. Segalanya berjalan biasa biasa saja, yang luar biasa justru oknum oknum yang menjadi pengelolanya. Lihat saja, khususnya Tapanuli Tengah. Cerita soal “praktik biologi” langsung yang dikelola guru yang bukan mengajar mata pelajaran biologi bukan lagi hal yang jarang masuk ke gendang telinga, satu demi satu cerita itu berlewatan dan menjadi konsumsi publik.
Lantas, apa dan bagaimana kita sebagai orang Indonesia memberi sikap secara cerdas terhadap semua persoalan persoalan tersebut ?. Apakah hanya berpangku tangan atau sambil menghitung bintang tanpa ada sedikit pun respons walau sekedar mencoba. Yang dikhawatirkan, kita tak ubahnya seperti gerombolan manusia yang sedang tertular anti sosial, tak ada yang dipandang sebagai sebuah masalah sosial, tak ada respons yang datang secara reaktif.
Banang Basaluk (Benang kusut,red) yang menghantui sistem pendidikan nasional kalau diurai akhirnya bermuara pada kekurangmampuan otoritas bidang pendidikan, dalam hal ini pemerintah, khususnya Kementrian Pendidikan Nasional, baik itu yang berada di pusat, maupun yang berkantor di Wilayah dan daerah Kabupaten/Kota, Kok ?, masa bisa. Padahal kalau kita perhatikan Kementrian Pendidikan dihuni oleh banyak orang pintar, S1, S2, dan bahkan ada ratusan profesor dan doktor. Lantas, kemana saja mereka selama ini ? Konsepnya jelas cap jempol, bisa jadi setara dengan konsep negara negara yang sudah mapan semacam Singapura atau Korea Selatan di Asia, sekelas Inggris, Franscis, Jerman, atau Swiss di Eropa, dan bahkan juga mampu menyamai Amerika Serikat. Tapi itu tak lebih dari kondisi dalam data, dalam buku, makalah, dan atau lainnya. Jika yang dibicarakan masalah yang berkenaan dengan kondisi di lapangan, faktanya akan langsung bicara lain, banyak carut marut. Keduanya ibarat bak pinang dibelah kampak, berantakan.
Terdapat banyak kejanggalan dalam dunia pendidikan kita. Coba kita tanya dulu, ngapaian juga bimbingan belajar (Bimbel) menjamur hingga ke pedesaan, kalau mutu didikan di sekolah mampu menjawab keinginan bersama. Tapi, itu tadi, tidak sama sekali. Jelasnya, munculnya Bimbel merupakan indikasi buruknya proses pembelajaran di sekolah-sekolah. Jikalau cara belajar-mengajar di sekolah cukup baik, Bimbel terang tidak diperlukan. Tapi yang ada bahkan berubah jadi Aneh. Kenapa ?, sebab bukannya memperbaiki sistem, justru sekolahnya yang minta, bahkan kadang pakai proposal segala agar Bimbel mau menggabungkan diri sebagai upaya meningkatkan prestasi siswanya. Atau setidaknya memberikan saran kepada siswa untuk mengikuti Bimbel.
Kok ?. ya, itu memang. Jadi para guru yang terhormat itu, kalau boleh nanya, selama ini ngajar apa saja, kok masih perlu dukungan Bimbel. Hanya saja memang, Logikanya kalau sistem pembelajaran berjalan cukup baik, Bimbel semuanya bakal bangkrut. Pasti bangkrut, karena dari sekolah saja siswa sudah mendapatkan ilmu pengetahuan yang cukup, ngapaian juga masuk Bimbel.
Belum lagi ngomongin Pendidikan Gratis. Ini akan menambah keanehan baru, kalau sekolah swasta masih ngutip SPP, itu sih wajar wajar saja. Kalau ngandalin Dana BOS, guru guru di sekolah swasta bisa makan batu akhirnya. Kepala Sekolah mau gaji pakai apa. Tapi, ini juga menimbulkan gesekan di tengah tengah masyarakat, iklan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat di TV besarnya minta ampun. Ini akhirnya menimbulkan persepsi masyarakat seakan kalau ada kutipan disekolah merupakan pungli sang guru untuk menambah isi kantongnya.
Tapi memang, kalau yang dibicarakan sekolah negeri, ceritanya memang akan lain. Kurang apa coba ?, ada DIPA, ada BOS, siswa kurang mampu ada BSM dari Pusat, ada lagi dari APBD. Tapi toh tetap juga mungut, untuk ini, untuk itu, dan bahkan hanya untuk sekelas beli taplak meja dan lain sebagainya. Lantas, apakah penggunaan DIPA itu haram jika dibelanjakan untuk kepentingan kelas atau siswa ?. apakah hanya untuk kepentingan yang berhubungan dengan kantor saja ?. Ada lagi BOS, tapi kok masih mungut juga untuk kepentingan kegiatan hari besar keagamaan misalnya ?. busyet.
Yang jelas. Jelaskanlah kalau memang sesuatu itu perlu penjelasan, jangan justru malah mendatangkan hal lain yang mengundang kekaburan. Luruskanlah hidupmu, agar kelak jadi lurus pula matimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar